HAMPIR satu dekade telah berlalu sejak Program Tenaga Pendamping Profesional (TPP) diluncurkan sebagai bagian dari ikhtiar besar membangun Indonesia dari pinggiran. Sejak 2015, ribuan jiwa telah diberangkatkan ke berbagai penjuru negeri, mengemban amanah bukan hanya sebagai pelaksana program, tetapi juga sebagai penjaga semangat pemberdayaan. Mereka hadir bukan untuk menonjolkan diri, tetapi untuk mendengarkan, membersamai, dan menyulam harapan—satu demi satu, dari ujung desa yang kerap tak terdengar.
Kini, menjelang usia ke-10, ada sesuatu yang lebih berharga daripada angka, yaitu jejak kemanusiaan yang ditinggalkan oleh para pendamping: di jalan berlumpur, di bale-bale bambu, di terik matahari yang membakar, dan di malam-malam tanpa penerangan, di sanalah semangat TPP diuji dan dimurnikan. Tulisan ini adalah upaya kecil untuk merekam sebagian dari itu—cerita dari tanah yang dibangun bukan hanya dengan rencana, tetapi dengan hati.
Menyulam Harapan dari Pinggiran
Ketika program ini pertama kali diluncurkan, sebagian desa
menyambutnya dengan bingung, sebagian lainnya dengan curiga. Siapa mereka ini? Mengapa tiba-tiba hadir dan berbicara soal pembangunan?
menyambutnya dengan bingung, sebagian lainnya dengan curiga. Siapa mereka ini? Mengapa tiba-tiba hadir dan berbicara soal pembangunan?
Namun para TPP tidak datang dengan seragam kebesaran, tidak pula dengan mobil dinas dan kuasa anggaran. Mereka datang dengan niat baik, dengan kaki yang rela menempuh medan berat, dan dengan waktu yang mereka luangkan sepenuhnya untuk masyarakat. Di sinilah segalanya dimulai.
Pendampingan tidak dimulai dari ruang rapat, tetapi dari obrolan santai di teras rumah warga. Dari tanya-jawab kecil di warung kopi desa. Dari ikut hadir dalam kenduri, dalam ronda malam, dalam panen, dan dalam duka.
Dari interaksi yang manusiawi itulah benih kepercayaan tumbuh. Dan ketika warga mulai berkata, “Pendamping ini bukan orang luar, dia bagian dari kami,”—itulah saat pembangunan sesungguhnya dimulai.
Perjalanan menuju usia 10 tahun tentu bukan tanpa badai. Dari perubahan kebijakan pusat yang datang silih berganti, target pelaporan yang semakin rumit, keterbatasan sarana dan prasarana, hingga tantangan medan yang sering kali tak manusiawi. Namun justru dari sana lahir kisah-kisah ketangguhan.
Ada pendamping yang harus menyeberangi sungai dengan perahu kecil setiap hari. Ada yang berjalan kaki puluhan kilometer untuk menjangkau dusun terpencil. Ada pula yang harus bersabar menghadapi kepala desa yang apatis, atau masyarakat yang telah lama trauma terhadap janji-janji pembangunan.
Namun mereka tetap bertahan. Bukan karena digaji tinggi, bukan karena dijanjikan penghargaan. Tetapi karena mereka percaya, bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keberanian kecil untuk hadir dan mendengar.
Menjadi Lebih dari Sekadar Fasilitator
Peran TPP tidak berhenti di fasilitasi musyawarah atau mendampingi RKPDes. Mereka menjelma menjadi motor penggerak: menghidupkan kembali semangat gotong royong, memfasilitasi pelatihan untuk perempuan, mendorong pemuda desa untuk kembali bercita-cita.
Bahkan di era digital, TPP mulai menjadi jembatan teknologi: memperkenalkan aplikasi administrasi desa, mengenalkan pelaporan online, hingga mengajarkan pemanfaatan media sosial untuk promosi BUM Desa.
Lebih dari itu, mereka menjadi penjaga nilai—menjaga agar pembangunan tidak kehilangan rohnya: partisipatif, adil, dan manusiawi.
Menatap Masa Depan—Menjaga Nyala, Menumbuhkan Jiwa
Menjelang usia satu dekade, saatnya kita bertanya lebih dalam: sudahkah sistem kita menopang semangat para pendamping? Sudahkah ruang belajar, ruang refleksi, dan ruang perlindungan bagi mereka tersedia?
Karena sejatinya, TPP bukanlah sekadar program lima tahunan. Mereka adalah bagian dari sistem perubahan sosial yang sedang kita bangun bersama. Mereka adalah wajah negara yang hadir paling dekat dengan rakyatnya.
Dan untuk menjaga nyala itu tetap menyala, kita tidak hanya perlu memperpanjang kontrak, tetapi memperkuat jiwanya dengan pelatihan bermutu, perlindungan hak, regenerasi yang sehat, dan pengakuan atas kerja sunyi mereka.
Dari Desa, Kita Belajar Membangun dengan Cinta
Pembangunan tidak dimulai dari meja perencanaan, tetapi dari ketulusan untuk hadir. Tidak ada strategi pembangunan yang lebih ampuh dari kehadiran yang utuh—dan itulah yang telah ditunjukkan oleh para Tenaga Pendamping Profesional.
Mereka adalah saksi hidup dari desa yang tumbuh, dari warga yang bangkit, dan dari mimpi-mimpi yang perlahan menjadi nyata. Mereka membangun tidak dengan tangan yang memerintah, tapi dengan tangan yang menggandeng. 20/04/2025
Oleh: Susilawati, S.E., M.M. Wakil Koordinator Nasional TPP P3MD Kemendesa PDT RI
Salam santun untuk seluruh Tenaga Pendamping Indonesia... bersatu Padu untuk Indonesia Maju...
BalasHapusMonggo...
BalasHapus